Selasa, 26 Oktober 2010

KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

Kekuasaan Kehakiman, dalam konteks negara Republik Indonesia, adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Perubahan (Amandemen) Undang-Undang Dasar 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh:

  • Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.
  • Mahkamah Konstitusi

Selain itu terdapat pula Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang merupakan pengadilan khusus dalam Lingkungan Peradilan Agama (sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama) dan Lingkungan Peradilan Umum (sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum).

Disamping perubahan mengenai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, UUD 1945 juga mengintroduksi suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

Perubahan UUD 1945 yang membawa perubahan mendasar mengenai penyelengaraan kekuasaan kehakiman, membuat perlunya dilakukan perubahan secara komprehensif mengenai Undang-Undang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan.

Pengalihan Badan Peradilan

Konsekuensi dari UU Kekuasaan Kehakiman adalah pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Sebelumnya, pembinaan badan-badan peradilan berada di bawah eksekutif (Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen Agama, Departemen Keuangan) dan TNI, namun saat ini seluruh badan peradilan berada di bawah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Berikut adalah peralihan badan peradilan ke Mahkamah Agung:

  • Organisasi, administrasi, dan finansial pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, Pengadilan Negeri, dan Pengadilan Tata Usaha Negara, terhitung sejak tanggal 31 Maret 2004 dialihkan dari Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia ke Mahkamah Agung
  • Organisasi, administrasi, dan finansial pada Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Departemen Agama, Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syariah Propinsi, dan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah, terhitung sejak tanggal 30 Juni 2004 dialihkan dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung
  • Organisasi, administrasi, dan finansial pada Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Utama, terhitung sejak tanggal 1 September 2004 dialihkan dari TNI ke Mahkamah Agung. Akibat perlaihan ini, seluruh prajurit TNI dan PNS yang bertugas pada pengadilan dalam lingkup peradilan militer akan beralih menjadi personel organik Mahkamah Agung, meski pembinaan keprajuritan bagi personel militer tetap dilaksanakan oleh Mabes TNI.

Peralihan tersebut termasuk peralihan status pembinaan kepegawaian, aset, keuangan, arsip/dokumen, dan anggaran menjadi berada di bawah Mahkamah Agung.

VISUM ET REPERTUM

Visum et repertum disingkat VeR adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan.

Jenis VeR pada umumnya adalah:

  • VeR perlukaan (termasuk keracunan)
  • VeR kejahatan susila
  • VeR jenazah
  • VeR psikiatrik

Ada lima bagian tetap dalam laporan Visum et repertum, yaitu:

  1. Pro Justisia. Kata ini diletakkan di bagian atas untuk menjelaskan bahwa visum et repertum dibuat untuk tujuan peradilan. VeR tidak memerlukan materai untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti di depan sidang pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum.
  2. Pendahuluan. Kata pendahuluan sendiri tidak ditulis dalam VeR, melainkan langsung dituliskan berupa kalimat-kalimat di bawah judul. Bagian ini menerangkan penyidik pemintanya berikut nomor dan tanggal, surat permintaannya, tempat dan waktu pemeriksaan, serta identitas korban yang diperiksa.
  3. Pemberitaan. Bagian ini berjudul "Hasil Pemeriksaan", berisi semua keterangan pemeriksaan. Temuan hasil pemeriksaan medik bersifat rahasia dan yang tidak berhubungan dengan perkaranya tidak dituangkan dalam bagian pemberitaan dan dianggap tetap sebagai [[rahasia kedokteran].
  4. Kesimpulan. Bagian ini berjudul "kesimpulan" dan berisi pendapat dokter terhadap hasil pemeriksaan.
  5. Penutup. Bagian ini tidak berjudul dan berisikan kalimat baku "Demikianlah visum et repertum ini saya buat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan saya dan dengan mengingat sumpah sesuai dengan kitab undang-undang hukum acara pidana/KUHAP". Dalam KUHAP pasal 186 dan 187.
  • Pasal 186: Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
  • Pasal 187(c): Surat keterangan dari seorang ahli yang dimuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.

Kedua pasal tersebut termasuk dalam alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP.

MAHKAMAH KONSTITUSI

Mahkamah Konstitusi adalah salah satu kekuasaan kehakiman di Indonesia. Sesuai dengan UUD 1945 (Perubahan Ketiga), kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Kewajiban dan wewenang

Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan Wewenang Mahkamah Konstitusi adalah:

  • Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum
  • Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.


Ketua Mahkamah Konstitusi

Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi untuk masa jabatan 3 tahun.


Hakim Konstitusi

Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 orang oleh Mahkamah Agung, 3 orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 orang oleh Presiden. Masa jabatan Hakim Konstitusi adalah 5 tahun, dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya.


Sejarah

Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi diawali dengan Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B yang disahkan pada 9 November 2001. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.

DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu. Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden mengambil sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.

TATA HUKUM INDONESIA

Tata hokum berasal dari bahasa Belanda “rechtorde” yaitu susunan hokum, yang artinya memberikan tempat yang sebenarnya pada hokum. Yang dimaksud dengan “memberi tempat sebenarnya” yaitu menyusun dengan baik dan tertib aturan-aturan hokum dalam pergaulan hidup agar ketentuan yang berlaku dengan mudah dapat di ketahui dan dipergunakan untuk menyelesaikan setiap peristiwa hokum yang terjadi. Pelaksanaan tata dan susunan itu berlangsung selama da pergaulan hidup manusia terus berkembang. Oleh karena itu dalam tata hokum terdapat aturan hokum yang berlaku positif atau ius costitutum, di samping aturan hokum sejenis yang pernah berlaku dan tetap dinamakan hokum (recht).

Dalam hokum positif di Indonesia, berlaku tata hokum sebagai berikut;

  1. Hukum Tata Negara (HTN), adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang organisasi untuk mencapai tujuannya dalam kemasyarakatan.
  2. Hukum Administrasi Negara (HAN), adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pengelolaan administrasi pemerintahan dalam arti luas, yang bertujuan untuk mengetahui cara tingkah laku negara dan alat kelengkapan negara.
  3. Hukum Perdata, adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam memenuhi kepentingan (kebutuhan)nya atau mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan.
  4. Hukum Pidana, adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkahlaku manusia dalam meniadakan pelanggaran kepentingan umum.
  5. Hukum Acara atau hokum formal, adalah peraturan hokum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan hokum material, tata hokum ini terbagi atas;
  • Hukum Acara Pidana, adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur cara bagaimana pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hokum pidana material
  • Hukum Acara Perdata, adalah ketentuan-ketentuan mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan hokum perdata material.

Selasa, 19 Oktober 2010

MPR

Sejarah MPR

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) lahir seiring dengan berdirinya negara Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pada tanggal 29 Agustus 1945 sesaat setelah proklamasi kemerdekaan, dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sesuai ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, KNIP bertugas membantu Presiden dalam menjalankan kekuasaan negara, sebelum terbentuknya lembaga-lembaga negara, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar.

Dalam perkembangan sejarahnya, pada pertengahan Oktober 1945, KNIP kemudian berubah menjadi semacam parlemen, tempat Perdana Menteri dan anggota kabinet bertanggung jawab. Hal ini, sejalan dengan perubahan sistem pemerintahan dari sistem Presidensial ke sistem Parlementer. Sejarah mencatat, bahwa KNIP adalah cikal bakal (embrio) dari badan perwakilan di Indonesia, yang oleh Undang-Undang Dasar 1945 diwujudkan ke dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Keberadaan badan-badan perwakilan, DPR dan MPR ketika itu, tidak terlepas dari keinginan para pendiri negara bahwa negara yang didirikan adalah negara yang demokratis. MPR yang anggota-anggotanya terdiri atas anggota DPR, ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat. Atas dasar itulah MPR melaksanakan kedaulatan rakyat.

Mengingat fungsi dan kewenangan MPR yang tinggi seperti mengubah Undang-Undang Dasar, mengangkat dan memberhentikan Presiden/Wakil Presiden, maka para ahli hukum tata negara menyebut MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Pandangan ini kemudian dikukuhkan dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan atau Lembaga-lembaga Tinggi Negara. Meskipun demikian, sejarah menunjukkan bahwa negara Indonesia baru membentuk MPR yang bersifat sementara setelah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, sedangkan MPR yang dibentuk berdasarkan hasil Pemilihan Umum baru terlaksana pada tahun 1971.

Sejak terbentuknya, baik MPRS maupun MPR telah memberikan sumbangan yang besar bagi pembangunan bangsa dan negara. Sebagai sebuah lembaga, MPR juga tidak luput dari pasang surut seiring dengan perjalanan sistem ketatanegaraan. Di masa lalu, MPR begitu kuat posisinya, begitu besar tugas dan kewenangannya bahkan disebut sebagai Lembaga Tertinggi Negara, sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.

Bergulirnya reformasi yang menghasilkan reformasi konstitusi telah mendorong para pengambil keputusan untuk tidak menempatkan MPR dalam posisi sebagai lembaga tertinggi. Setelah reformasi, MPR menjadi lembaga negara yang sejajar kedudukannya dengan lembaga-lembaga negara lainnya, bukan lagi penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Perubahan Undang-Undang Dasar telah mendorong penataan ulang posisi lembaga-lembaga negara terutama mengubah kedudukan, fungsi dan kewenangan MPR yang dianggap tidak selaras dengan pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat sehingga sistem ketatanegaraan dapat berjalan optimal.

Pasal 1 ayat (2) yang semula berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” , setelah perubahan Undang-Undang Dasar diubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan demikian pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh sebuah lembaga negara, yaitu MPR, tetapi melalui cara-cara dan oleh berbagai lembaga negara yang ditentukan oleh UUD 1945.

Tugas, dan wewenang MPR secara konstitusional diatur dalam Pasal 3 UUD 1945, yang sebelum maupun setelah perubahan salah satunya mempunyai tugas mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar negara yang mengatur hal-hal penting dan mendasar. Oleh karena itu dalam perkembangan sejarahnya MPR dan konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar mempunyai keterkaitan yang erat seiring dengan perkembangan ketatanegaraan Indonesia.

Tugas, wewenang dan Hak

Tugas dan wewenang MPR antara lain:

  • Mengubah dan menetapkan (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945), (Undang-Undang Dasar)
  • Melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum.
  • Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan (Mahkamah Konstitusi) untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
  • Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya.
  • Memilih Wakil Presiden dari 2 calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
  • Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya.

Anggota MPR memiliki hak mengajukan usul perubahan pasal-pasal UUD, menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan putusan, hak imunitas, dan hak protokoler.

Setelah Sidang MPR 2003, Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat tidak lagi oleh MPR.

Sidang

MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.

Sidang MPR sah apabila dihadiri:

  • sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah Anggota MPR untuk memutus usul DPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden
  • sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR untuk mengubah dan menetapkan UUD
  • sekurang-kurangnya 50%+1 dari jumlah Anggota MPR sidang-sidang lainnya

Putusan MPR sah apabila disetujui:

  • sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR yang hadir untuk memutus usul DPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden
  • sekurang-kurangnya 50%+1 dari seluruh jumlah Anggota MPR untuk memutus perkara lainnya.

Sebelum mengambil putusan dengan suara yang terbanyak, terlebih dahulu diupayakan pengambilan putusan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat.

Alat kelengkapan

Alat kelengkapan MPR terdiri atas: Pimpinan, Panitia Ad Hoc, dan Badan Kehormatan.

Pimpinan MPR terdiri atas seorang ketua dan 4 orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota MPR dalam Sidang Paripurna MPR.

Kedudukan

Sebelum perubahan UUD 1945

Berdasarkan UUD 1945 (sebelum perubahan), MPR merupakan lembaga tertinggi negara sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.

Setelah perubahan UUD 1945

Perubahan UUD 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. Kini MPR berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara yang setara dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Lembaga Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK.

MPR juga tidak lagi memiliki kewenangan untuk menetapkan GBHN. Selain itu, MPR tidak lagi mengeluarkan Ketetapan MPR (TAP MPR), kecuali yang berkenaan dengan menetapkan Wapres menjadi Presiden, memilih Wapres apabila terjadi kekosongan Wapres, atau memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama. Hal ini berimplikasi pada materi dan status hukum Ketetapan MPRS/MPR yang telah dihasilkan sejak tahun 1960 sampai dengan tahun 2002.

Saat ini Ketetapan MPR (TAP MPR) tidak lagi menjadi bagian dari hierarki Peraturan Perundang-undangan.